Monday, May 30, 2016

Chevron Divonis Denda Rp 2,5 Milyard (Kasus Persaingan Pasar Tidak Sehat)

Contoh Kasus Persaingan Pasar Tidak Sehat :


JAKARTA. Raksasa perusahaan minyak Chevron Indonesia Company divonis bersalah melakukan tindakan diskriminasi dalam tender export pipeline front end enggineering & design contract. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum Chevron membayar denda sebesar Rp 2,5 miliar.

“Menyatakan bahwa terlapor I (Chevron) terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 19 Huruf D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,” kata Ketua Majelis Komisi Muhammad Nawir Messi, Kamis (16/5).
Dalam Pasal 19 Huruf d disebutkan pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku uasaha lain yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Sementara itu, Majelis Komisi juga memutuskan bahwa PT Worley Parsons Indonesia (terlapor II) tidak terbukti melanggar Pasal 19 Huruf D UU No. 5 Tahun 1999. Chevron disebutkan melakukan praktek diskriminasi terhadap peserta tender lainnya yakni PT Wood Group Indonesia. Sementara itu, Chevron telah menetapkan PT Worley Parsons (terlapor II) selaku pemenang tender.
Terkait putusan ini, Stefanus Haryanto, Kuasa Hukum Chevron, enggan untuk memberikan komentarnya. “No comment ya,” katanya. Hal serupa juga disampaikan oleh Mochmad Fachri selaku kuasa hukum Worley Parsons.
Perkara ini berawal dari penyelidikan terhadap Resume Monitoring KPPU RI mengenai adanya Dugaan Pelanggaran Pasal 19 huruf d dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait dengan Tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di Lingkungan Chevron Indonesia Company, yang dilakukan oleh Chevron Indonesia Company sebagai Terlapor I dan PT Worley Parsons Indonesia sebagai Terlapor II.
Objek perkara ini adalah Tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di Lingkungan Chevron Indonesia Company dengan total estimate contract value sebesar 4.690.058 US$. Tender ini menggunakan sistem pemasukan penawaran dua tahap berdasarkan PTK 007 Revisi 1 Tahun 2009, yang terdiri dari tahap teknis dan tahap komersial.
Sumber : http://nasional.kontan.co.id/news/chevron-divonis-denda-rp-25-miliar
Analisis Contoh Kasus di atas
A. Analisa Bukti
Dari penjelasan Kasus diatas dapat di analisa raksasa perusahaan minyak Chevron Indonesia Company divonis bersalah melakukan tindakan diskriminasi dalam tender export pipeline front end enggineering & design contract. Dan perusahaan minyak Chevron disebutkan melakukan praktek diskriminasi terhadap peserta tender lainnya yakni PT Wood Group Indonesia. Sementara itu, Chevron telah menetapkan PT Worley Parsons (terlapor II) selaku pemenang tender.
B. UU yang berlaku
Dalam kasus ini UU yang dikenai Pasal 19 Huruf D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam Pasal 19 Huruf  D disebutkan Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”
C. Hukuman yang Berlaku
Dalam kasus di atas dapat dilihat dari UU (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999) yang berlaku maka pelaku dapat hukuman pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
E. Objek Perkara
Objek perkara ini adalah Tender Export Pipeline Front End Engineering & Design Contract (No. C732791) di Lingkungan Chevron Indonesia Company dengan total estimate contract value sebesar 4.690.058 US$. Tender ini menggunakan sistem pemasukan penawaran dua tahap berdasarkan PTK 007 Revisi 1 Tahun 2009, yang terdiri dari tahap teknis dan tahap komersial.
E. Tanggapan
Dari Kasus tersebut saya menanggapi bahwa undang-undang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat itu perlu karena kita tidak ingin perekonomian negara ini hanya dikuasai oleh segelintir orang atau pengusaha yang memiliki pangsa pasar yang monopolistis dan persaingan tidak sehat lainnya. Dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang mengawasi tentang persainagn usaha harus tegas terhadap perusahaan-perusahan besar ataupun kecil yang melakukan tindakan monopoli. Supaya tidak terjadi kesenjangan sosial yang amat dalam antara penduduk Indonesia
 
 
Sumber :
 http://noviantoromuhammad.blogspot.co.id/2014/06/contoh-kasus-persaingan-usaha.html

Persekongkolan dalam Tender – Kasus di Indonesia dan Amerika Serikat.

Contoh Kasus Persengkokolan :

Putusan KPPU No. 08/KPPU-L/2001:

Kasus Tender Pengadaan Barite dan Bentonite B/S/0226 oleh YPF Maxus Southeast Sumatera B.V.;Perkara bermula dari laporan pihak pelapor dengan suratnya tertanggal 14 September 2001 yang menyampaikan laporan mengenai Tender Pengadaan Barite dan Bentonite B/S/0226, selanjutnya disebut dengan Tender No. B/S/0226. pihak terlapor yang sekaligus merupakan penyelenggara tender adalah YPF Maxus Southeast Sumatera B.V.. pihak pelapor mengajukan keberatan kepada terlapor untuk meninjau ulang hasil tender tersebut, karena terdapat kecenderungan mengarah kepada satu vendor dengan beberapa alasan, antara lain tidak terdapat kejelasan mengenai pengertian API Wyoming Bentonite karena API spec 13A terdiri dari section IV dan V,[18] penetapan cap API Monogram pada karung Bentonite tidak jelas, karena pelapor tidak yakin bahwa pabrik (grinding plant) PT. MI Indonesia di Batam telah memiliki API Monogram License dari American Petroleum Institute (API).
Selain itu, keseluruhan proses pengerjaan jasa pemotongan sampai dengan pemompaan Barite dan Bentonite ke dalam supply ship yang seharusnya dilakukan dilepas pantai telah dilakukan di darat, proses dan teknis pemompaan Barite dan Bentonite pelapor mendapat dukungan penuh dari PT. Bukitapit Bumipersada dimana teknisi yang terlibat adalah ex BJ Service yang telah berpengalaman dalam pengadaan semen dan pengoperasian bulk plant facility lebih dari lima tahun. Berdasarkan keterangan tersebut, maka pelapor menganggap bahwa tender Nomor B/S/0226 adalah diskriminatif dan bersifat monopolistik. Hal ini karena persyaratan yang ditetapkan oleh terlapor, yaitu Bentonite yang dipasok harus memiliki cap API monogram dan dianggap merupakan suatu rekayasa sehingga dapat mengarah kepada satu vendor, yaitu PT. MI Indonesia.
KPPU dalam putusannya menyatakan bahwa Terlapor, YPF Maxus Southeast Sumatra B.V. yang sekarang bernama CNOOC Southeast Sumatra B.V. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22, Pasal 19 huruf a dan d. Undang-undang Nomor 5 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.[19]
Analisa
Ketentuan dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu adanya pelaku usaha dan adanya persekongkolan, namun demikian dalam perkara ini tidak ditemukan unsur persekongkolan yang dilakukan oleh perusahaan YPF Maxus Southeast Sumatera B.V. hal ini mengingat pertemuan-pertemuan yang diadakan antara pihak terlapor dengan PT. MI Indonesia adalah berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul dalam kegiatan pengeboran yang sedang dijalankan, termasuk penyediaan bahan-bahan pengeboran dan peralatan. Dalam tender ini juga tidak terdapat ‘tindakan penyesuaian’ atau membandingkan dokumen sebelum penyerahan atau menciptakan persaingan semu untuk mengatur dan menetapkan pemenang tender. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka unsur persekongkolan yang terdapat dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak terpenuhi.

Contoh Kasus Persengkokolan 2 :

Kasus Persekongkolan dalam Tender di Amerika Serikat .

Di beberapa negara, persekongkolan dalam tender merupakan jenis pelanggaran yang amat serius, karena tindakan tersebut biasanya merugikan negara dalam arti luas (juga propinsi, kelompok masyarakat, universitas, rumah sakit, angkatan bersenjata, dll.), sehingga kenaikan tingkat harga tersebut akhirnya membebani masyarakat. UNCTAD menyatakan bahwa “collusive tendering is inherently anti-competitive, since it contravenes the very purpose of inviting tenders, which is to procure goods or services on the most favourable prices and conditions…[20]
Tender kolusif di kebanyakan negara dianggap ilegal, bahkan di negara-negara yang tidak mempunyai undang-undang yang membatasi kegiatan usaha sekali pun sering terdapat perundang-undangan khusus tentang tender. Kebanyakan negara mengenakan ketentuan yang lebih ketat terhadap tender kolusif daripada perjanjian horisontal lainnya, karena terdapat aspek kecurangan, dan terutama dampaknya merugikan perbelanjaan pemerintah dan pengeluaran negara.[21]
Amerika Serikat dan Eropa menerapkan pengawasan yang ketat terhadap bid rigging. Di Amerika Serikat penanganan bid rigging seperti halnya dengan penggunaan kartel, yakni menghukum tindakan tersebut secara per se illegal. Bahkan Divisi Anti Trust Departemen Kehakiman Amerika Serikat menetapkan praktek tersebut sebagai tindakan kriminal berdasarkan Section 1 the Sherman Act, disertai dengan denda yang sangat tinggi.[22]
Namun demikian, dalam konteks ekonomi di Amerika Serikat, bid rigging dan price fixing ditetapkan sebagai tindak kecurangan (fraud). Pelaku bid rigging menyusun pola untuk mengambil uang dari konsumen dengan cara penipuan (kecurangan). Satu-satunya perbedaan antara bid rigging dan price fixing adalah dalam bentuk transaksi. Pola tindakan dari dua praktek tersebut merupakan perjanjian rahasia (secret agreement) untuk membatasi persaingan. Bid rigging merupakan sebagai jenis price fixing yang paling sederhana, dan dianggap sebagai pelanggaran per se illegal. Mahkamah Agung Amerika Serikat juga membenarkan adanya pandangan ini berdasarkan ketentuan Sherman Act. Penilaian terhadap bid rigging dan price fixing bukanlah bentuk atau metode yang digunakan, melainkan lebih kepada hasil yang akan dicapai dalam tindakan tersebut.
Negara-negara di Eropa juga mengatur secara kaku terhadap bid rigging. Bid rigging merupakan tindakan yang dianggap sebagai aktivitas kartel berdasarkan Article 85.1. of the Rome Treaty. Prosedur ketentuan tersebut diatur dalam Article 17 of the 1962 pengaturan tentang the Board of Chairman. Sementara itu European Community Commision dapat mengeluarkan peraturan untuk mengeliminasi langkah-langkah yang bertentangan dengan kegiatan ilegal berdasarkan Article 85.1. of the Treaty of Rome. Oleh karena itu, hal ini dapat diterapkan perusahaan yang diketahui atau secara sengaja melanggar ketentuan Article 85.1. of the Treaty of Rome, disertai dengan denda tinggi.[23]
Sedangkan di Jepang, persekongkolan dalam tender (bid rigging) dianggap bertentangan dengan peraturan yang berkaitan dengan anti monopoli. Ketentuan mengenai bid rigging diatur berdasarkan Pasal 2 ayat (6) Undang-undang Anti Monopoli, menetapkan bid rigging sebagai “pembatasan kegiatan usaha melalui kerja sama yang saling menguntungkan antara perusahaan, dan merupakan hambatan substansial terhadap persaingan di wilayah usaha bisnis tertentu yang bertentangan dengan kepentingan umum (kartel).” Bid rigging diatur sesuai dengan peraturan yang melarang hambatan substansial dalam persaingan yang dilakukan oleh asosiasi, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) butir 1 Undang-undang Anti Monopoli di Jepang.[24]
Dalam pembahasan ini akan dikemukakan dan dianalisa beberapa permasalahan yang terkait dengan persekongkolan dalam tender yang yang telah diputuskan oleh pengadilan di Amerika dan Kanada sebagai bahan perbandingan.

1. Amerika Serikat.

Kasus Tender Perangko. Kasus ini bermula dari kecurigaan seorang Attorney General yang bernama Eliot Spitzer yang menduga keras bahwa telah terjadi persekongkolan dalam tender (bid rigging) yang bernilai jutaan dollar pada pelelangan perangko di New York City. Akibat keadaan tersebut sangat menghalangi persaingan terbuka (fair competition) dalam pelelangan perangko, kasus ini menyangkut 7 orang nama dari negara yang berbeda, yaitu Amerika, Inggris, dan Belanda. Ketujuh orang tersebut bekerjasama dalam sebuah persekongkolan (conspiracy) dan melakukan rencana-rencana sebelum lelang terbuka diadakan (seperti pra-lelang) dengan tujuan membuat kesepakatan tentang harga pembelian perangko. Pada intinya mereka bersepakat bahwa hanya ada satu pemenang diantara mereka dan akan ada semacam kompensasi dari pemenang tender berupa uang yang berjumlah ribuan dollar. Akibat perbuatan ini sangat dirasakan pada pasar dan penjual-penjual, pasar yang seharusnya adil dan menghasilkan tawaran kompetitif menjadi rusak.[25]
Analisa: Sangat jelas bahwa perbuatan persekongkolan dalam tender (bid rigging) sangat merugikan Negara Bagian New York serta dapat merusak pasar yang kompetitif sehingga menimbulkan deviasi pasar.


Sumber :
https://syukriy.wordpress.com/2008/08/18/persekongkolan-dlm-tender-yang-mengakibatkan-persaingan-usaha-tidak-sehat-studi-kasus-di-indonesia-amerika-serikat-dan-kanada/